Catatan Remeh-Temeh A’yat Khalili
Puisi adalah suara jiwa penyair: tentang apa yang dilihat mata, dirasa
dan diresap lidah dan kulit, apa yang dicium hidung, dipikir otak dan
sesuatu apa yang disimpan hati. Eksperesi jiwa itu menghadirkan rasa
indah dan rasa kagum bagi setiap manusia yang menikmatinya. Puisi adalah
merupakan komunikasi langsung dan tidak langsung seorang penyair dengan
alam, maka tak salah jika terkadang ia hadir menyuarakan gerak daun
yang ditingkap angin, sehempas debu yang diterjang angin, atau aroma
bunga yang dibawa angin dari halaman rumah.
Di samping itu, puisi adalah merupakan salah satu bentuk jenis karya
sastra yang dilengkapi dengan pemakaian majas, denotasi dan konotasi
serta penggunaan lambang-lambang—yang terkadang bahasa yang digunakan
penyair, ada yang padat, naratif, dan terdapat penghilangan sebagian
tanda dan kata untuk lebih mengintensifkan puisinya. Unsur-unsur puisi
didapatkan dari pancaindra, melihat, merasakan dari apa yang terkecil
sampai ke paling besar. Yang tampak sampai ke kasat mata. Seorang
penyair adalah orang yang paling tertuntut kepekaan dan meresapi setiap
kemungkinan dalam perasaan memahami hidup, bahasa dan
peristiwa-peristiwa terhadap gejala luar biasa yang ada di alam ini.
Penyair dan lingkungannya. Ia hidup dalam dunia bahasa yang tak
terbatas dan kolektif. Selain pribadinya yang mempunyai jiwa, masyarakat
pun punya jiwa. Penyair dan masyarakat adalah ibarat anak dan ibu, yang
membentuk dari akumulasi semacam interaksi dan interelasi antara
keduanya. Penyair seolah berada dibuaiannya, sementara sang ibu sendiri
selalu memberi berbagai macam kebutuhan anak. Karena ia dibentuk dan
lahir sebagai anggota-anggota masyarakat berdasarkan desakan-desakan
emosional yang terkadang juga kurang rasional dan ril. Hingga dalam
hidup yang ia jejaki, ia serapi, ia renungi sebagai sebuah pengetahuan
dan pengalaman pahit-manis—untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya
itu—telah bermacam-macam warna yang dapat ia hadirkan, yang tentu
kemudian cukup memiliki ciri khas berbeda dan bernilai tersendiri dalam
lingkungan hidupnya.
Ia tidak akan hadir
dalam ruang kosong belaka, nihil makna. Melainkan puisi sebagai suara
terdalam manusia sebagai sang penyair dalam mentransenden bahasa, yang
dalam istilah ilmu linguistic—sebagai suatu kalimat yang tidak dapat
disampaikan dengan cara lain apa pun, kecuali dalam dan oleh kalimat
puisi itu sendiri. Jika kita bertanya, dapatkah air mata dan tangis
diterjemah dengan bahasa, luka yang tersiksa mampukah ditulis. Di situ
bahasa hanya menjadi bahasa. Luka pun tetap menjadi ‘bahasa’ luka. Ia
tak bisa menjelaskan kalimat, begitu pun kata hanya hidup dalam kata itu
sendiri. Di luar itu semua—apa yang dipikirkan manusia tentang hari
esok hanyalah sunyi, sunyi tak terbatas. Ironi dan abstrak. Puisi sangat
penuh pekat-kental, ia sarat dengat hukum nilai, alam estetika telah
menjadi tuntutan pembaca dalam mengakrabi puisi agar semakin terkesan,
penuh majas, asosiasi, metafor, dsb. Yang dalam catatan ini perubahan
paling kecil dalam puisi akan mengakibatkan perubahan seluruh komponen
dalam rangkaian unsurnya.
Hingga puisi
akhirnya tidak menjadi kosong arti, dan mustahil dipisahkan dari bunyi
kata yag terungkap. Dengan alasan apa pun, puisi tidak untuk diterjemah,
sebab ia memang bukan untuk dipikir apalagi diterjemah dengan bahasa
lainnya. Ia hanya hadir untuk memenuhi keragaman bahasa, sebagai hakikat
awal mula bahasa diciptakan bagi manusia, yang lalu memunculkan dan
menjelaskan banyak peristiwa bahasa untuk kemudian diolah batin dan
dirasakan oleh pemahaman jiwa. Selain itu, hanya sebuah arti atau
pengertian yang tak termaknakan.
Seorang
pembaca tentunya harus benar-benar tahu dan punya kepekaan bahasa yang
mengiringinya, di samping pengetahuan lain yang mendukung pemahaman
terhadap puisi. Dalam refleksi lain, pembaca harus hidup seakan dalam
dunia bahasa. Jika tidak, ia sedang menghadapi besi dingin. Ketika
menyentuhnya tak bakal mendapat percik apa pun, kecuali kegelapan amat
sangat dan serangkaian kalimat tak bermakna. Lalu bagaimana mungkin,
jika tak pernah luka akan menangis. Jika tak pernah hidup akan mati.
Mendalami rasa, indera, bahasa,gerak, hingga lahir gema dalam jiwa.
Sebab dalam puisi yang menentukan adalah penghayatannya. Pikiran
terkadang ‘akan’ buntu—karena sebatas pencarian terendah mencari makna
puisi. Sedang puisi sendiri puncak dari segala bahasa.
Octavio Paz, pernah menulis “ bila puisi menyentuh suatu bahasa, apa pun maka menjadi ujaran (beku) dan seketika itu juga berhenti jadi bahasa”.
Artinya, sebagaimana telah dikemukakan diatas; puisi tidak dapat
dibahasakan dengan cara ungkap apa pun, selain cara ungkap puisi itu
sendiri, ia lahir dari gema rasa—untuk dirasakan jiwa lain, yang
kehadirannya, bakal dan mesti jadi sangkut-paut kehidupannya dalam
menerima gema di sekitar dirinya, yang menimpa atau yang mendasarinya.
Bangunan puisi terwujud dari runut kata, rasa, bunyi, gema, makna dan
indera. Yang satu sama lain berpaduan—tak terpisahkan. Bekerjasama dan
saling mengisi. Bahkan mustahil diceraikan keutuhannya yang membentuk
wujud puisi itu sendiri. Tidak ada rupa kedua dari puisi. Puisi hanya
puisi. Ia hidup sendiri. Akan tetapi dari perangkat itu, puisi bisa
hadir jadi pemahaman universal, dan multitafsir. Bagi sebagian pembaca,
puisi dapat dirasakan dari getaran bunyinya, sebagia lain dari
kedahsyatan kata-katanya, sebagian lagi dari anaforinya, dan ada juga
tak menemukannya. Namun, walau sebesar atau sekecil apapun, semua itu
tak akan pernah sampai sebagaimana maksud penyairnya. Ada yang berlebih
dalam pandangannya. Ada yang kewalahan mencarinya. Lebih-lebih seorang
pembaca, hendaklah terlebih dahulu mengetahui lingkungan, juga hal-ihwal
proses kreatif sang penyair.
Karena
pengetahuan dan pembacaannya itu, bakal membantu kuat pemahamannya
tentang puisi-puisi yang dibaca. Contoh kecil Sutardji CB,
puisi-puisinya hanya dapat dipahami, oleh sebagian orang yang telah
benar-benar tahu dan mengenal serta membaca catatan hidup yang ia
prioritaskan sebagai salah satu proses kreatifnya menulis puisi-puisi
mantra kepada khalayak pembaca. Dan masih banyak dan banyak lagi…yang
selanjutnya terserah pembaca mencari dan mengenal puisisecara lebih
luas. Hingga kita akhirnya faham, bahwa kenikmatan puisi dan
kepahamannya menjadikan manusia lebih arif dan bijak, beradab dan lembut
serta selalu ingat pada momentum sendiri.
Telenteyan Longos, Gapura, 13 September 2010.
Sumber: https://www.facebook.com/notes/ayat-khalili/puisi-penyair-dan-pembaca/822826747730177
Tidak ada komentar:
Posting Komentar