Jumat, 18 Juli 2014

Puisi, Penyair dan Pembaca

Catatan Remeh-Temeh A’yat Khalili

         Puisi adalah suara jiwa penyair: tentang apa yang dilihat mata, dirasa dan diresap lidah dan kulit, apa yang dicium hidung, dipikir otak dan sesuatu apa yang disimpan hati. Eksperesi jiwa itu menghadirkan rasa indah dan rasa kagum bagi setiap manusia yang menikmatinya. Puisi adalah merupakan komunikasi langsung dan tidak langsung seorang penyair dengan alam, maka tak salah jika terkadang ia hadir menyuarakan gerak daun yang ditingkap angin, sehempas debu yang diterjang angin, atau aroma bunga yang dibawa angin dari halaman rumah.

         Di samping itu, puisi adalah merupakan salah satu bentuk jenis karya sastra yang dilengkapi dengan pemakaian majas, denotasi dan konotasi serta penggunaan lambang-lambang—yang terkadang bahasa yang digunakan penyair, ada yang padat, naratif, dan terdapat penghilangan sebagian tanda dan kata untuk lebih mengintensifkan puisinya. Unsur-unsur puisi didapatkan dari pancaindra, melihat, merasakan dari apa yang terkecil sampai ke paling besar. Yang tampak sampai ke kasat mata. Seorang penyair adalah orang yang paling tertuntut kepekaan dan meresapi setiap kemungkinan dalam perasaan memahami hidup, bahasa dan peristiwa-peristiwa terhadap gejala luar biasa yang ada di alam ini.

         Penyair dan lingkungannya. Ia hidup dalam dunia bahasa yang tak terbatas dan kolektif. Selain pribadinya yang mempunyai jiwa, masyarakat pun punya jiwa. Penyair dan masyarakat adalah ibarat anak dan ibu, yang membentuk dari akumulasi semacam interaksi dan interelasi antara keduanya. Penyair seolah berada dibuaiannya, sementara sang ibu sendiri selalu memberi berbagai macam kebutuhan anak. Karena ia dibentuk dan lahir sebagai anggota-anggota masyarakat berdasarkan desakan-desakan emosional yang terkadang juga kurang rasional dan ril. Hingga dalam hidup yang ia jejaki, ia serapi, ia renungi sebagai sebuah pengetahuan dan pengalaman pahit-manis—untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya itu—telah bermacam-macam warna yang dapat ia hadirkan, yang tentu kemudian cukup memiliki ciri khas berbeda dan bernilai tersendiri dalam lingkungan hidupnya.

          Ia tidak akan hadir dalam ruang kosong belaka, nihil makna. Melainkan puisi sebagai suara terdalam manusia sebagai sang penyair dalam mentransenden bahasa, yang dalam istilah ilmu linguistic—sebagai suatu kalimat yang tidak dapat disampaikan dengan cara lain apa pun, kecuali dalam dan oleh kalimat puisi itu sendiri. Jika kita bertanya, dapatkah air mata dan tangis diterjemah dengan bahasa, luka yang tersiksa mampukah ditulis. Di situ bahasa hanya menjadi bahasa. Luka pun tetap menjadi ‘bahasa’ luka. Ia tak bisa menjelaskan kalimat, begitu pun kata hanya hidup dalam kata itu sendiri. Di luar itu semua—apa yang dipikirkan manusia tentang hari esok hanyalah sunyi, sunyi tak terbatas. Ironi dan abstrak. Puisi sangat penuh pekat-kental, ia sarat dengat hukum nilai, alam estetika telah menjadi tuntutan pembaca dalam mengakrabi puisi agar semakin terkesan, penuh majas, asosiasi, metafor, dsb. Yang dalam catatan ini perubahan paling kecil dalam puisi akan mengakibatkan perubahan seluruh komponen dalam rangkaian unsurnya.

          Hingga puisi akhirnya tidak menjadi kosong arti, dan mustahil dipisahkan dari bunyi kata yag terungkap. Dengan alasan apa pun, puisi tidak untuk diterjemah, sebab ia memang bukan untuk dipikir apalagi diterjemah dengan bahasa lainnya. Ia hanya hadir untuk memenuhi keragaman bahasa, sebagai hakikat awal mula bahasa diciptakan bagi manusia, yang lalu memunculkan dan menjelaskan banyak peristiwa bahasa untuk kemudian diolah batin dan dirasakan oleh pemahaman jiwa. Selain itu, hanya sebuah arti atau pengertian yang tak termaknakan.

         Seorang pembaca tentunya harus benar-benar tahu dan punya kepekaan bahasa yang mengiringinya, di samping pengetahuan lain yang mendukung pemahaman terhadap puisi. Dalam refleksi lain, pembaca harus hidup seakan dalam dunia bahasa. Jika tidak, ia sedang menghadapi besi dingin. Ketika menyentuhnya tak bakal mendapat percik apa pun, kecuali kegelapan amat sangat dan serangkaian kalimat tak bermakna. Lalu bagaimana mungkin, jika tak pernah luka akan menangis. Jika tak pernah hidup akan mati. Mendalami rasa, indera, bahasa,gerak, hingga lahir gema dalam jiwa. Sebab dalam puisi yang menentukan adalah penghayatannya. Pikiran terkadang ‘akan’ buntu—karena sebatas  pencarian terendah mencari makna puisi. Sedang puisi sendiri puncak dari segala bahasa.

          Octavio Paz, pernah menulis “ bila puisi menyentuh suatu bahasa, apa pun maka menjadi ujaran (beku) dan seketika itu juga berhenti jadi bahasa”. Artinya, sebagaimana telah dikemukakan diatas; puisi tidak dapat dibahasakan dengan cara ungkap apa pun, selain cara ungkap puisi itu sendiri, ia lahir dari gema rasa—untuk dirasakan jiwa lain, yang kehadirannya, bakal dan mesti jadi sangkut-paut kehidupannya dalam menerima gema di sekitar dirinya, yang menimpa atau yang mendasarinya.

          Bangunan puisi terwujud dari runut kata, rasa, bunyi, gema, makna dan indera. Yang satu sama lain berpaduan—tak terpisahkan. Bekerjasama dan saling mengisi. Bahkan mustahil diceraikan keutuhannya yang membentuk wujud puisi itu sendiri. Tidak ada rupa kedua dari puisi. Puisi hanya puisi. Ia hidup sendiri. Akan tetapi dari perangkat itu, puisi bisa hadir jadi pemahaman universal, dan multitafsir. Bagi sebagian pembaca, puisi dapat dirasakan dari getaran bunyinya, sebagia lain dari kedahsyatan kata-katanya, sebagian lagi dari anaforinya, dan ada juga tak menemukannya. Namun, walau sebesar atau sekecil apapun, semua itu tak akan pernah sampai sebagaimana maksud penyairnya. Ada yang berlebih dalam pandangannya. Ada yang kewalahan mencarinya. Lebih-lebih seorang pembaca, hendaklah terlebih dahulu mengetahui lingkungan, juga hal-ihwal proses kreatif sang penyair.

          Karena pengetahuan dan pembacaannya itu, bakal membantu kuat pemahamannya tentang puisi-puisi yang dibaca. Contoh kecil Sutardji CB, puisi-puisinya hanya dapat dipahami, oleh sebagian orang yang telah benar-benar tahu dan mengenal serta membaca catatan hidup yang ia prioritaskan sebagai salah satu proses kreatifnya menulis puisi-puisi mantra kepada khalayak pembaca. Dan masih banyak dan banyak lagi…yang selanjutnya terserah pembaca mencari dan mengenal puisisecara lebih luas. Hingga kita akhirnya faham, bahwa kenikmatan puisi dan kepahamannya menjadikan manusia lebih arif dan bijak, beradab dan lembut serta selalu ingat pada momentum sendiri.

Telenteyan Longos, Gapura, 13 September 2010.


Sumber: https://www.facebook.com/notes/ayat-khalili/puisi-penyair-dan-pembaca/822826747730177

Tidak ada komentar:

Posting Komentar