Senin, 11 Agustus 2014

Penggunaan Huruf pada Judul Buku Puisi

Tanya:
Pertanyaan yang baru sempat kujawab dari seorang Abang di Mojokerto:
"Untuk judul puisi ada yang bilang harus menggunakan huruf besar semua. Saat di suatu grup aku menulis huruf besar dan kecil seperti biasanya. Itu yang kasih komentar senior dan orang keren. Yang benar bagaimana? Terus untuk penulisan puisi yang memakai huruf kecil semua tanpa ada huruf besar misalnya di awal baris, apakah itu termasuk licentia poetica? Dulu pas ikut diskusi sastra ada seorang guru dan pemerhati sastra katanya menanyakan itu. Makasih."

Jawab:
1. Menyoal judul sah saja kapital semua atau kecil semua dan/atau kapital di huruf awal. Yang tidak boleh, karena "alay" dan tidak substansial adalah penulisan judul selang seling seperti ini: nYaNyIaN AdInDa. Penulisan judul semacam itu barulah tida diperkenankan dan baiknya tidak dilakukan oleh penulis puisi.

Adapun mengenai keharusan yang disampaikan oleh (konon) penyair senior yang keren sebagaimana yang dimaksud di atas mempunyai dua kemungkinan. Mungkin karena satu grup dan ada kebijakan pewajiban penulisan judul dengan huruf kapital keseluruhan, maka sebagaimana peribahasa "di mana langit dijunjung di situ bumi dipijak" maka ikutilah aturan itu. Kemungkinan kedua adalah pemaksaan karakter penulisan terhadap orang lain, inilah yang berbahaya.

2. Penggunaan huruf kecil di seluruh tubuh puisi atau bahkan dari judul hingga titimangsa dapat dimasukkan ke ranah "Licentia Poetica". Akan tetapi musti diingat, penggunaannya berdasarkan pengetahuan bukan berdasarkan ketidaktahuan. Semata dijadikan pelarian bagi seorang penyair.

Sumber: Facebook Muhammad Rois Rinaldi.

Sabtu, 02 Agustus 2014

Puisi

Puisi harus bisa menyentuh seperti sebuah foto tapi tidak sloganistis seperti sebuah berita.

Sumber: Facebook Saut Situmorang.

Mengalir

Proses kekaryaan yang buruk adalah yang selalu dihantui keinginan untuk mendapatkan hasil terbaik, sehingga proses itu seperti aliran air yang tersendat-sendat, beruntung jika tidak benar-benar tersumbat. Proses kekaryaan yang baik adalah yang tidak pernah bertanya bagaimana akhirnya. Mengalir, mengalir, dan mengalir....

Sumber: Facebook Muhammad Rois Rinaldi

Sabtu, 26 Juli 2014

Susastra untuk Keluarga

Oleh : Mathori A Elwa. Penyair. Editor Senior Nuansa Cendekia,  Tinggal di Jogjakarta.

Mereka, para sastrawan, penulis, jurnalis, dan kaum cerdik-cendekia– tentu saja yang telah memiliki level kesadaran intelektual tinggi– menyadari pentingnya kesusastraan sebagai nafas hidup mereka. Sebagian karena alasan praktis, sebagian karena alasan yang abstrak.

Alasan praktis biasanya merujuk pada pentingnya merawat dan mengembangkan imajinasi dalam diri manusia. Imajinasi dalam pengertian ini adalah sebuah basis kreatif alam-pikir individu yang harus dirawat dan dikembangkan, karena dengan itulah kreativitas itulah hidup akan senantiasa berkembang.

Imajinasi juga dianggap penting mengingat manusia hidup tidak cukup hanya menggunakan rasio murni, atau menurut Imanuel Kant, tak cukup dengan mengandalkan “nalar instrumental”. Dengan sastra (dalam hal ini fiksi), diharapkan pula dari sini muncul kecerdasan yang harmonis antara otak kanan dan otak kiri.

Lain daripada itu, fiksi,–terutama karya-karya bermutu–, tidak mengajak manusia terjebak pada tahayul. Dengan itulah mengapa sastra diperlukan manusia modern, karena ia tetap memenuhi syarat untuk hidup dalam ruang rasionalitas modern, tetapi menjebak pola-pikit ke dalam “rasio-instrumental”, yang kaku, melainkan mengembangkan nalar secara kreatif, dinamis dan bahkan mengajak kita hidup lebih humanis.

Argumen mendasar di atas itu kemudian menyadarkan kaum cerdik cendekia senantiasa menggemari susastra dari beragam jenis. Tak jarang, kegemaran mereka membaca susastra sangat gila. Kecanduannya dari remaja hingga menjelang masuk liang kubur meliputi bacaan jenis puisi, novel, hingga studi susastra ilmiah.

Namun, harus pula diakui bahwa dari penggila susastra itu hanya menyadari/merasakan manfaatnya, tetapi  sering tidak mampu menjelaskan alasan mengapa ia gemar gila susastra. Rata-rata mereka hanya mampu menjawab sebagai hobi. Tetapi alasan sebagai sekadar hobi sekalipun, tetaplah baik. Sebab rata-rata penghobi susastra kebanyakan adalah golongan orang-orang yang memiliki jiwa intelektualitas tinggi.

Keluarga bermutu peduli susastra
Sedikit alasan di atas, paling tidak akan membuka kesadaran kita mengapa susastra tetap hidup di masyarakat modern, bahkan semakin maju kebudayaan masyarakat, semakin banyak pecinta susastranya. Negara Inggris, Jepang, Korea Selatan, Belanda, Amerika Serikat, Perancis, Italia, dan beberapa negara maju lainnya telah membuktikan sebagai bangsa dengan masyarakat penggila sastra yang luar biasa.

Dengan kata lain, saya ingin memastikan bahwa susastra memang menempati golongan masyarakat “elit”, dalam artian elit secara intelektual, atau elit secara adab, dan bukan semata elit secara ekonomi. Sebab, harus diakui, tidak setiap orang kaya, bahkan mereka yang elit dari sisi sosial seperti ningrat atau menak, menggilai susastra.

Orangtua perlu sastra agar pikiran memiliki ruh, dan yang lebih penting lagi adalah mampu menyelami dunia batin imajinasi. Ini sangat penting karena kebanyakan anak-anak kita sangat lekat hidup dengan dunia imajinasi yang penuh kreativitas.

Dengan menetapkan sastra sebagai bagian dari keluarga, kelak anak-anak kita ketika dewasa akan hidup dengan jiwa dan karakter yang lebih baik. Orangtua,–yang sekalipun selama masa mudanya, bahkan sampai tua kurang menyukai dunia susastra,– tentu perlu mengubah pandangannya tentang susastra yang tidak penting menjadi susastra itu maha penting. Seandainya, tetap merasa tidak suka membaca, paling tidak harus memiliki kepedulian untuk menanamkan pentingnya susastra bagi anak-anaknya. Tentu bukan sekadar anjuran, melainkan mengajak anak-anak membaca, dan orantua bijak selalu membelanjakan buku-buku susastra kepada anak-anaknya.

Tema-tema susastra tidak terlalu sulit dipetakan. Ada fiksi seperti novel dan cerpen, termasuk komik, ada pula karya puisi atau bentuk cerita lainnya. Cerita-cerita rakyat, legenda, kisah hikmah, atau roman sebanyak mungkin diberikan kepada anak-anak remaja. Perpustakaan sekolah sejauh ini kurang memenuhi kebutuhan bacaan tersebut, karena itulah orangtua harus mengalokasikan belanja buku-buku penting tersebut sebagai bacaan remaja.

Pada level dewasa, selevel usia SMA dan mahasiswa, novel-novel karya penulis-penulis besar dunia harus mulai dibaca. Bacaan sastra bermutu karya Leo Tolstoy, H.G. Well, Najib Mahfudz, Rudyat Kipling, William Shakespeare, Rabindranat Tagore, Dostoevky, John Galwrthy, Edgar Allan Poe, Jalaluddin Rumi, Muhammad Iqbal, Kahlil Gibran, Najib Kaelani, Marx Twain, Albert Camus, setidaknya disediakan di perpustakaan keluarga.

Begitu juga karya terbaik sastrawan Indonesia seperti Idrus, Muchtar Lubis, Aoh K Hadimadja, Pramudya Ananta Toer, Remy Sylado, Ali Audah, Ramadhan KH, Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Kuntowijoyo, Titis Basino, Gerson Poyk, YB Mangunwijaya, Ajip Rosidi, Umar Kayam, Budhi Dharma, NH Dini, Seno Gumira Adjidarma, AS Laksana,  Hamzah Fansuri, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan Muhamad, WS Rendra, A Mustofa Bisri, D. Zawawi Imron, Acep Zamzam Noor, Joko Pinurbo, Dorothe Rosa Herliany, Widji Thukul, Linda Christanty, sebaiknya sudah menjadi koleksi para remaja kita. Karya-karya penulis Indonesia yang saya sebut itu mungkin bukunya tidak best-seller seperti Laskar Pelanginya Andreas Hirata atau Supernova-nya Dewi Lestari, tetapi kedudukan nilainya tentu lebih tinggi di banding susastra popular.

Melawan televisi
Jika hobi mengoleksi karya susastra sudah menjadi kebiasaan, waktu “luang” anak-anak remaja dalam lingkungan keluarga secara otomatis akan lebih penting digunakan untuk membaca, bukan menonton televisi. Keluarga yang tidak memiliki koleksi bacaan yang bagus, waktunya dihabiskan untuk menonton televisi atau cilakanya sekarang banyak membaca berita online yang buruk mutunya.

Penelitian menunjukkan bahwa tontonan televisi yang digemari mayoritas keluarga kita pasti tidak mendidik. Bahkan kini mulai tumbuh kesadaran di kalangan keluarga terdidik, di rumah mereka tidak lagi menyediakan televisi, melainkan VCD, agar selera anak-anak mereka dapat diarahkan secara positif.  Terbukti, bahwa keluarga demikian pasti menggemari tontonan dan bacaan bermutu, bukan tontonan dekaden dan membodohkan.

Waktu remaja, Rabindranat Tagore biasa mendengarkan dengan khusuk ayahnya mendendangkan syair-syair Jalaluddin Rumi di samping Bagawatgita. Tak heran jika Tagore tumbuh sebagai seorang yang berpandangan luas dan imajinasinya tumbuh amat subur. Kita mengenalnya sebagai pujangga besar India. Tradisi membaca karya sastra dan kitab suci secara bersamaan sebenarnya berlaku di dunia Timur, terutama di kalangan keluarga kelas menengah.  Pendiri Tempo Group, Goenawan Mohammad sejak remaja banyak dipasok pengetahuan oleh ayahnya dengan bacaan-bacaan berjimbun dan diarahkan untuk memahami susastra. Ada pula tokoh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Nurcholis Madjid yang terbukti menjadi manusia berkualitas kelas internasional karena tradisi keluarganya sangat kuat dengan literatur susastra.

Di Indonesia, terutama pada keluarga kaum santri sebenarnya sudah punya potensi dengan dekatnya mereka dengan susastra Arab.  Selain membaca Kitab suci Al-Quran, keluarga santri juga menyertakan bacaan susastra bermutu seperti susastra klasikAl-Barjanji, Maulid Diba’, Simdud Durar dll. Bahkan ketika memiliki hajat, misalnya mau membangun rumah, karya sastra yang bertajuk Manaqib Syeikh Abdul Qadir Jilani dibaca dengan melalui prosedur tertentu, yakni membuat ingkung (memasak ayam jantan) dan beberapa jenis makanan dan minuman tertentu; pemasaknya orang yang sudah tidak bisa haid, ketika memasak tidak boleh berbicara alias harus “topo bisu”, dan seterusnya).

Sementara di sebagian kalangan keluarga keturunan Cina, bacaan-bacaan tentang susastra dan sejarah Tiongkok juga cukup menjadi tradisi yang bisa diandalkan. Itu adalah modal besar bagi bangsa kita untuk menghargai karya sastra secara kreatif.

Pembentukan karakter dimulai dari keluarga. Dan karya sastra bermutu mengisi jiwa kita dengan asupan cahaya spiritualitas, seperti halnya Kitab Suci mengisi jiwa kita dengan cahaya Ilahi. Keluarga tanpa asupan kedua jenis spiritualitas demikian dapat dipastikan jiwanya kering kerontang, karakternya rapuh, wataknya kaku dan keras, hatinya angkuh, tak sudi belajar kepada orang lain, anti-kritik, dan —celakanya— senang menyaksikan pembunuhan atau tayangan horor, –lebih celaka lagi– hobi membunuh sesama manusia

Karena itu, jika kita sekarang sedang mendengar slogan “revolusi mental” barangkali salahsatu agenda terpentingnya adalah menjadikan setiap keluarga sebagai keluarga yang memiliki kesukaan terhadap karya susastra bermutu.

Sebab, kalau sekedar banyak baca tetapi bacaannya adalah karya kurang berkualitas, atau bahkan hanya sekadar baca informasi online yang muatannya kebanyakan sampah, sulitlah kita berharap munculnya manusia-manusia Indonesia yang berbudi pekerti sejalan dengan idealitas pancasila .[]

Hari Puisi Indonesia pada 26 Juli

Sebanyak 40 penyair Indonesia telah menandatangani prasasti Deklarasi Hari Puisi Indonesia di Anjungan Idrus Tintin Pekanbaru, Riau, Kamis malam, 22 November 2012. Sebelum ditandatangani, teks tersebut dibacakan oleh presiden penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri. Prasasti dari marmer tersebut kemudian diserahkan kepada Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi Riau untuk disimpan di dalam museum daerah setempat.

Deklarasi tersebut merupakan puncak dari serangkaian acara Pertemuan Penyair Indonesia (PPI) I yang diawali dengan Musyawarah Penyair Indonesia (MPI) pada siang hari mulai pukul 13.30 hingga 16.00 wib, dan ditutup dengan pertunjukan baca puisi oleh semua penyair dari berbagai daerah di Tanah Air, dari Aceh hingga Papua. Gubernur Riau, HM Rusli Zainal, juga ikut tampil membacakan sajak “Cintaku Jauh di Pulau” karya Chairil Anwar.

Di dalam teks deklarasi tersebut dinyatakan bahwa Indonesia dilahirkan oleh puisi yang ditulis secara bersama-sama oleh para pemuda dari berbagai wilayah tanah air. Puisi pendek itu adalah Sumpah Pemuda. Ia memberi dampak yang panjang dan luas bagi imajinasi dan kesadaran rakyat nusantara. Sejak itu pula sastrawan dari berbagai daerah menulis dalam bahasa Indonesia, mengantarkan bangsa Indonesia meraih kedaulatan sebagai bangsa yang merdeka.

“Bahasa Indonesia adalah pilihan yang sangat nasionalistis. Dengan semangat itu pula para penyair memilih menulis dalam bahasa Indonesia, sehingga puisi secara nyata ikut membangun kebudayaan Indonesia. Nasionalisme kepenyairan ini kemudian mengental pada Chairil Anwar, yang dengan spirit kebangsaan berhasil meletakkan tonggak utama tradisi puisi Indonesia modern,” ucap Sutardji membacakan teks tersebut.

“Sebagai rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah menganugerahi bangsa Indonesia dengan kemerdekaan dan kesusastraan, sekaligus untuk mengabadikan kenangan atas puisi yang telah ikut melahirkan bangsa ini, kami mendeklarasikan tanggal lahir Charil Anwar, 26 Juli, sebagai Hari Puisi Indonesia.”

“Dengan ditetapkannya Hari Puisi Indonesia, maka kita memiliki hari puisi nasional sebagai sumber inspirasi untuk memajukan kebudayaan Indonesia yang modern, literat, dan terbuka,” ucap Sutardji mengakhiri pembacaan teks.

Para penyair tampil membaca sajak dan ikut menandatangani prasasti tersebut, antara lain Sutardji Calzoum Bachri (Jakarta), Rida K Liamsi (Riau), John Waromi (Papua), D. Kemalawati (Aceh), Ahmadun Yosi Herfanda (Jakarta), Kazzaini KS (Riau), Rahman Arge (Sulawesi Selatan), Micky Hidayat (Kalimantan Selatan), Isbedy Stiawan ZS (Lampung), Fakhrunnas MA Jabbar (Riau), Anwar Putra Bayu (Sumatera Selatan), Dimas Arika Mihardja (Jambi), Pranita Dewi (Bali), Bambang Widiatmoko (Jakarta), Fatin Hamama (Jakarta), Sosiawan Leak (Jawa Tengah), Agus R Sarjono (Jakarta), dan Jamal D Rahman (Jakarta), Chavcay Syaefullah (Banten), Husnu Abadi (Riau), Hasan Albana (Sumatera Utara), Hasan Aspahani (Riau), Iyut Fitra (Sumatera Barat), Marhalim Zaini (Riau), Pandapotan MT Silagan (Sumatera Utara), Jefri Al-Malay (Kepulauan Riau), dan Samson Rambahpasir (Kepulauan Riau).

Puncak acara PPI I juga ditandai dengan peluncuran buku Antologi Hari Puisi Indonesia yang berisi karya-karya para penyair yang hadir, dan dimeriahkan pemutara video sejarah Hari Puisi Indonesia, serta pertunjukan musikalisasi puisi dan puisi multi media. Menurut koordinator acara, Asrizal Nur, penyelengaraan PPI I dan Deklarasi Hari Puisi Indonesia ini dilaksanakan oleh Dewan Kesenian Provinsi Riau bekerjasama dengan Yayasan Sagang dengan sponsor utama PT Riau Pos, serta didukukung oleh Yayasan Panggung Melayu (YPM), Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Majalah Sastra Horison, dan Jurnal Sajak.

Sejarah deklarasi

Menurut salah seorang inisiator acara ini, Rida K. Liamsi, keinginan untuk memiliki Hari Puisi Indonesia muncul ketika dia dan Agus R. Sarjono menghadiri Hari Puisi Nasional Vietnam. Gagasan tersebut kemudian ditularkan kepada Asrizal Nur dan Kazzaini KS, lalu dibincangkan secara lebih serius dengan Maman S. Mahayana dan Ahmadun Yosi Herfanda saat mereka bertemu di Seoul dan Hansan, Korea Selatan. Sepulang dari Korsel mereka membentuk Tim Perumus yang disebut “Tim Tujuh” di Jakarta yang bertugas menggodok ide tersebut agar dapat segera diwujudkan. Tim Kurator juga dibentuk untuk memilih penyair-penyair yang pantas diundang.

Konsep dan pemilihan tanggal Hari Puisi Indonesia awalnya disiapkan oleh Maman Mahayana di Korsel, kemudian dimatangkan oleh Agus Sarjono, Ahmadun YH, Asrizal Nur dan Jamal D. Rahman di Jakarta. Sementara itu, Rida K. Liamsi dan Kazzaini KS menyiapkan pelaksanaan PPI I di Pekanbaru. “Sesuai hasil kesepakatan Tim Perumus, yang kami pilih sebagai Hari Puisi Indonesia adalah tanggal 26 Juli, yakni hari lahir penyair Chairil Anwar, peletak tonggak utama tradisi puisi modern Indonesia,” katanya.
 
Setelah dideklarasikan, kata Rida K Liamsi, direncanakan mulai tahun depan Hari Puisi Indonesia akan diperingati secara besar-besaran di Jakarta. Diharapkan, peringatan serupa juga akan diadakan di daerah-daerah oleh para penyair yang hadir. Dengan demikian, diharapkan, puisi akan makin dicintai dan diapresiasi dengan baik oleh masyarakat. [RLS]

Sumber: http://infosastra.com/2012/11/25/hari-puisi-indonesia-pada-26-juli/

Senin, 21 Juli 2014

Bedah Buku: Membaca Mazmur Musim Sunyi

Oleh: Muhammad Rois Rinaldi

Satu hal yang dapat ditandai dari puisi-puisi Sulaiman Djaya dalam antologi puisi tunggal bertajuk “Mazmur Musim Sunyi”, adalah kesunyian itu sendiri. Kesunyian yang dalam dan dingin! Tentu saja dilantari oleh perjalanan hidupnya yang penuh dengan sinyal-sinyal makna serta kesan-kesan puitik yang ia jumputi sebagai bahan renung di ruang kontemplasinya sebagai seorang penyair.

Membaca serta menelaah 69 puisi dalam Mazmur Sunyi, saya menemukan  beberapa hal yang diulang-ulang oleh Sulaiman Djaya, baik kata, frasa, majas, pola pengandaian mau pun cara melihat dan memaknai sesuatu yang ia saksikan dan rasakan.

Menyoal pengulangan sebenarnya lumrah saja, mengingat hampir semua antologi puisi tunggal mengalami nasib yang sama. Penyebabnya tidak lain tidak bukan, karena keterbatasan mata dalam memandang alam semesta, keterbatasan pikiran manusia dalam memahami, mendalami, dan memaknai kehidupan, serta keterbatasan kata di jagat Indonesia ini, termasuk majas-majas yang berlaku. Maka, dari tidak banyaknya hal yang benar-benar dapat menarik jiwa penyair untuk menulis puisi, terjadilah beberapa pengulangan tema dan pemakaian pengandaian yang tidak jauh-jauh dari situ ke situ juga. Tidak terkecuali dalam Mazmur Sunyi.

Selain itu, beberapa simbol juga mendominasi, di antaranya “warna” dan “waktu”. Kedua simbol tersebut sepertinya dengan sungguh-sungguh diposisikan oleh Sulaiman Djaya (kemudian disingkat SD) sebagai media pengandaian sekaligus simbol tertutup dan terbuka untuk menemukan kebermaknaan dalam puisi-puisinya:

Aku adalah sebuah kalimat sajak
dengan kertas merah tua dari senja yang menghitung daun-daun albasia

(Mula Puisi, Hal 11)

Aku baik-baik saja
seperti hari-hari yang kadang putih
atau agak sedikit berlumut

(Mazmur Musim Sunyi, Di Ruang Baca, Hal 12)

Buku-buku, kertas-kertas, almanak
pintu dan jendela, saling berbisik tentang nasib
yang bukan biru, bukan ungu
bukan juga hijau abu-abu

(Mazmur Musim Sunyi, Monolog, hal 17)

Aku pun tahu
kadang engkau bersembunyi
di balik tirai yang terbentang
yang kau sebut hijau

(Mazmur Musim Sunyi, Nyanyian Desember, hal 86)

Warna dalam puisi (barangkali) gambaran suatu keadaan sedih, senang, muram, sumringah dan sejenisnya. Misalnya putih, lazim dikonotasikan pada kebersihan, kesucian, katarsis, dan sejenisnya dan sejenisnya. Hijau berkaitan dengan kesejukan, keteduhan, dan sejenisnya. Merah dimaknai sebagai keberanian atau kemarahan. Dapat juga dimaknai lain semisal merah adalah gambaran ketakutan, kemurkaan, atau kemalangan. Pemaknaan-pemaknaan yang dimaksud sangat tergantung pada teks dan konteksnya. Pernah Moch Wan Anwar mengulas beberapa karya pelajar yang dimuat di Horison sekitar tahun 2002/2003 (saya lupa), bahwa warna yang dimasukkan dalam puisi dapat membantu penyair untuk mengejawantahkan suasana atau nuansa serta memperkuat puisi.

Terlepas dari sepaham atau tidaknya, yang perlu ditekankan adalah bagaimana warna yang ditulis dalam puisi tidak selesai sebagai warna melainkan benar-benar mewakili makna tertentu. Karena apa saja di tangan penyair mesti memiliki perwujudan berbeda selain wujud aslinya. Semisal bunga di tangan penyair tidak akan jadi bunga belaka. Lantas bagaimana dengan warna-warna yang ditulis Sulaiman, sudahkah mampu membawa makna atau sekadar nama-nama warna yang ditulis tanpa membawa apa-apa?  Jawabannya dalam puisi Epigraf halaman 15:

“Dan aku sibuk memindahkan warna-warna, kalimat, dan kata-kata di pojok waktu tempatmu membaca buku kesukaanmu yang bersampul merah muda dan biru.”

Kesibukan yang dimaksud dapat dimaknai pencarian—Sulaiman terus berusaha mencari posisi yang tepat bagi warna agar dapat selaras dengan kata dan kalimat. Sehingga saling bersinergi membangun makna yang kuat—karena tidak mudah mencarikan posisi yang tepat bagi warna-warna di dalam puisi. Disebabkan pemanfaatan warna baik, hijau, merah, kuning, biru, putih, hitam, dan sejenisnya, sudah banyak digunakan orang dalam puisi, berpuluh tahun atau bahkan berabad-abad lalu. Kedepan baiknya SD mencari pembaharuan dalam pemakaian simbol. Setidaknya bukan yang kebanyakan orang pakai. Meski demikian, bukan berarti apa yang dilakukan SD adalah salah. Terlebih, konon, kebaruan hanya bagian dari masa lalu.

Tidak jauh berbeda dengan simbol “waktu”,  dapat dimaknai sebagai bentuk kesadaran penyair akan keberadaannya di dunia fana. Kaitannya dekat dengan hakikat keabadian Sang Khalik, sebagaimana disajikan dalam “bersama angin Januari yang menggodaku” (Di Ruang Baca, hal 12), “Di ruang ini, ada detik-detik lengang” (Di Ini Kubaca Lagi Waktu, hal 35) “meniup terompet ulangtahun / di sekartu bergambarku / yang kini telah jadi langit sabtu” (Musim Untuk Ibuku, hal 43), “pada derai angin Februari” (Nyanyian Desember, hal 86), dan “bunga-bunga waktu” (Sajak Bangun Tidur, hal 41).

Simbol-simbol waktu yang ditanam Sulaiman dalam puisi-puisinya mengingatkan pada sumpah Tuhan atas nama makhluknya, yakni “Demi Waktu”. Keberadaan waktu dalam kehidupan memang misterius. Ia seperti sangat jauh padahal begitu dekat. Seperti sangat renggang padahal begitu rapat dengan tubuh dan ruh manusia.  Inilah isyarat proses kratif seorang SD. Ada kegelisahan sekaligus kesadaran, betapa waktu begitu penting bahkan jadi genting jika tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

Penyair, Bahan Baca, dan Puisi

Dalam dunia kepenyairan, proses kreativitas seorang penyair sangat dipengaruhi oleh apa yang dicercap dari kehidupan (realitas)—mencercap sinyal-sinyal alam semesta—semisal  hakikat gugurnya daun dari dahan, hujan, rumput, kambing, kecoa, neon, piring, kelewawar dan sebagainya dan sebagainya.  Selain itu adalah bahan baca yang turut memengaruhi proses kreativitas seorang penyair.  Intensitas membaca yang turut mempengaruhi kepenulisan itu pula yang menjadi landasan hukum boleh terhadap karya-karya yang terpengaruh oleh apa yang dibaca. Tidak terkecuali SD.  Terlebih, SD adalah satu dari sedikitnya orang yang gemar membaca dan memiliki pengetahuan yang sangat luas. Berbicara dengannya seperti mencuri banyak pengetahuan bahkan saat bercanda sekali pun, ada saja ilmu yang dapat dirampok dari ucap dan lakunya.

Dikarenakan kegemarannya membaca itulah, sangat mungkin (untuk tidak bilang pasti) ada keterpengaruhan dari bahan bacanya. Meski tidaklah mutlak, bahkan bisa jadi hanya “kebetulan?”. Dari puisi-puisinya ditemukan kedekatan dengan puisi-puisi karya penyair terdahulu semisal Chairil Anwar, Abdul Hadi WM, dan WS Rendra. Perhatikan beberapa amsal berikut ini:

Aku tak punya banyak nama sepi, tapi yang paling indah kusebut dapur yang tak punya api

(Mazmur Musim Sunyi, Memoar, Hal 18)

Apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti
aku tungku tanpa api.

(diambil dari buku : EMPAT KUMPULAN SAJAK, karya RENDRA, penerbit Pustaka Jaya, cetakan kedelapan, tahun 2003)

Unsur-unsur yang tampak lekat dari puisi WS Rendra dalam puisi SD yang dikutip di atas yakni: 1). “Sepi” tetap menjadi “sepi:”; 2). “Tungku” diperluas oleh SD menjadi “dapur”, yang merupakan tempat tungku berada; 3). “Tak punya” dipadankan dengan “tanpa”; 4). “Api” tetap menjadi “api”; dan 5). “Tapi yang paling indah” memiliki kesan yang sama dengan “itulah berarti” yakni sama-sama sebagai media penunjuk sebelum sampai pada objek yang dimaksud: SD memaksudkan keindahan itu pada “dapur yang tak punya api” dan WS. Rendra memaksudkan pada “tungku tanpa api”.

dan aku ingin sekali menjadi nyala di depan kakimu

(Mazmur Musim Sunyi, Memoar, Hal 18)

kini aku nyala
pada lampu padammu

(Abdul Hadi W.M., 1977, Tuhan, Kita Begitu Dekat)

Unsur-unsur yang dapat diperhatikan adalah: 1). “Kini aku nyala” dalam puisi Abdul Hadi WM yang tegas dibuat gamang dalam puisi SD menjadi “aku ingin sekali menjadi nyala”; dan 2). Pada “lampu padammu” dalam puisi Abdul Hadi WM dieksekusi SD dalam puisinya menjadi “di depan kakimu”.  Kedekatannya semakin terasa saat melihat kata depan “pada” (kata depan pada menandai hubungan tempat dan waktu) dalam puisi Abdul Hadi WM dan “di” (kata depan di menandai hubungan tempat beradanya sesuatu) dalam puisi SD.  

Aku tak ingin hidup lagi
walau kau beri aku surga
aku sudah kecewa

(Pertanyaan Untuk Eskatologi-Mu, hal 93)

Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

(Chairil Anwar,  1943, Aku)

Berbeda dengan contoh-contoh sebelumnya, kedekatan puisi “Pertanyaan Untuk Eskatologi-Mu” karya SD dengan puisi “Aku” karya Chairil Anwar terlihat sebagai pertentangan/antetisis terutama pada bagian “Aku mau hidup seribu tahun lagi” (Chairil) dan “Aku tak ingin hidup lagi” (SD). Selain itu, juga dapat ditemukan pada bagian berikut ini: 1). “Aku” sama-sama sebagai kata pembuka larik; 2). “Mau” (Chairil) menjadi “tak ingin” atau kalau dipertegas menjadi “tidak mau” (Sulaiman); 3). “Hidup” yang ditulis Chairil juga ditulis “hidup” oleh SD; 4). “Lagi” sebagai penutup dalam puisi Chairil juga ditulis “lagi” sebagai penutup dalam puisi SD.

Bagaimana pun setiap manusia memang selalu dipengaruhi oleh segala hal yang berinteraksi dengan dirinya. Baik interaksi sosial (manusia kepada manusia), interaksi alam (manusia dengan alam) dan interaksi ketuhanan (manusia dengan Tuhan). Karena itu fitrah, bahkan Gunawan Mohamad lebih ekstrim, ia mengatakan bahwa orisinalitas mengacu ke masa lalu sementara hari ini dan untuk masa depan hanya ada kreativitas.   Meski saya tidak sependapat dengan pendapat tersebut, karena manusia yang selalu mencari akhirnya akan menemu juga—menemu sesuatu yang baru meski berangkat dari kreativitas.

Sekadar Intrupsi Bukan Intruksi

Dalam “Mazmur Musim Sunyi” ditemukan beberapa kata yang sama kuat berada dalam satu larik atau satu bait. Sehingga saling menambrak atau bahkan saling menggugat. Seperti dalam puisi Di Kota Ini: “Di kota ini, ada sepi terlepanting seperti kancing. Lampu-lampu dan bau asam, sama riuhnya dengan bocah-bocah bernyanyi di tengah kemacetan.”

Riuh dan nyanyi memiliki kekuatan yang sama, yakni sama-sama menimbulkan bunyi bahkan kalau boleh dirunut, “riuh”  tingkatan emosinya lebih tinggi dari nyanyi.  Maka intrupsi yang diajukan adalah menukar posisi riuh dan nyanyi untuk mengerucutkan ruh serta emosi dalam puisi tersebut. Kira-kira menjadi begini: “Di kota ini, ada sepi terlepanting seperti kancing. Lampu-lampu dan bau asam, sama nyanyinya dengan bocah-bocah riuh di tengah kemacetan.”

Sepembacaan saya, SD sebagai penyair rupanya telah begitu nyaman dengan kesenyapan, kedinginan, dan segala rapal mazmur di kamar kreativitasnya. Ia begitu ajeg dalam kesendirian seakan kesendirian adalah kekal di dalam tubuh serta ruhnya. Sehingga tidak (atau belum) ditemukan puisi yang berbicara tentang kehidupan yang lebih meluas. Tentu saja ini bukan sesuatu yang salah, ini hanya soal pilihan. Termasuk pilihan untuk tidak banyak melakukan kenakalan dalam teks puisi. Sehingga puisi-puisinya terbilang aman-aman saja.

Keamanan teks-teks puisi SD akhirnya mau tidak mau membikin karya-karyanya tanpa lompatan. Tidak terlihat keliaran seorang penyair yang gemar berpikir serta mencari dalam kegelisahan yang tidak sudah-sudah.

Demikian hasil pembacaan atas puisi-puisi SD dalam “Mazmur Musim Sunyi” sambil menengadahkan harapan kepada yang bersangkutan: di antologi puisi tunggal berikutnya, kelak, saya ingin melihat keliaran serta kegelisahan itu.


Cilegon, 2014

Muhammad Rois Rinaldi, Penyair, tinggal di Cilegon, Banten*

Disampaikan dalam kegiatan bedah buku “Mazmur Musim Sunyi” di Teras Budaya Cilegon, 2014.

Jumat, 18 Juli 2014

Puisi yang baik seperti apa?

Puisi yang baik seperti apa?
"Puisi itu harus memiliki semangat puitik dan eksplorasi kata. Hindari permainan kata-kata tanpa ada artinya. Tentu saja harus mengedepankan estetik. Tidak sekedar puisi curhat, tapi di dalamnya ada wawasan, ada kesadaran yang mementingkan estetika. Puisi juga harus menampilkan hal yang baru.”

(Maman S Mahayana)

Sumber.